Cari Blog Ini

Minggu, 17 Juli 2011

Segelas Susu

Teman itu seharusnya seperti segelas susu yang bisa menyehatkan. Dan bahkan susu sekalipun, ada aturan pemakaiannya. Tentang merk, kemasan, rasa, dan harga yang harus dibayar, itu adalah pilihan.
Mari kita bicara tentang ‘susu = teman’ dalam ruang yang lebih luas. Teman disini boleh saja Lo artikan sebagai orang tua, sahabat, kekasih, partner kerja, tetangga, saudara, alam, buku, kucing kesayangan, pekerjaan, ataupun hal lainnya. Setiap orang boleh menerjemahkan dan memiliki persepsi masing-masing, tergantung, sesuai dan terpengaruh oleh situasi dan kondisi masing-masing setiap kalian. Dalam pembicaraan kita ini, itu bukan masalah.
Susu yang beredar sekarang sangat banyak variannya, ada yang bubuk, ada yang cair, ada yang masih benar-benar susu, ada yang berupa makanan olahan berbahan dasar susu. Pada intinya gue yakin kita sudah satu suara dalam hal pendapat bahwa susu (sebagai kata benda dalam kondisi umum yang normal) itu menyehatkan. Maka dari itu, dalam kebaikan secara umum ‘bersusu’ (berteman) itu juga lebih bijak daripada bermusuhan (tidak ‘bersusu’?). Tentu saja berteman yang dibenarkan dalam hal kebaikan lho ya, bukan sebaliknya.
Sudah gue bilang di awal tadi ‘dan bahkan susu sekalipun, ada aturan pemakaiannya’. Beneran lho! Takaran yang terbaik ya tentu saja Lo minum ‘secukupnya’. Kalau terlalu banyak, yang pasti Lo bakal kekenyangan, nggak selera lagi buat makan yang lain dan mungkin saja Lo bisa muntah. Akibat lainnya adalah perut Lo terasa mules dan Lo mesti bolak-balik ke WC untuk melakukan diskusi yang hangat dengan toilet dan para stafnya. Yang seringkali tidak disadari adalah akibat over dosis ‘susu’ dalam jangka panjang, yaitu ‘kegemukan’. ‘Kegemukan’ berarti terlalu ‘gemuk’, dan sudah barang tentu hal-hal yang ‘terlalu’ itu tidak baik.
Untuk mendapatkan ‘susu’ yang sesuai, ada harga yang harus dibayar. Bagi sebagian orang, susu bisa didapat dengan mudah. Pas Lo di pusat perbelanjaan, pasar, warung, pesawat, kereta api, masjid atau tempat lainnya, eh Lo ketemu ‘susu’ yang menarik, nge-klik dan beruntungnya lagi Lo punya sesuatu yang sepadan untuk dibayarkan, jadi bisa langsung diculik deh. Tapi sebagian yang lain, mendapatkan ‘susu’ harus dengan ekstra keras, penuh menunggu, penuh keringat, penuh air mata, dan pas udah ketemu ‘susu’ yang pas, eh malah pas nggak ada sesuatu yang bisa dibayarkan, atau malah susu-nya keduluan diambil konsumen lain. Tapi bukan berarti ini akhir segalanya lho. Boleh saja pagi ini Lo nggak minim ‘susu’, tapi hidup harus tetap dilanjutkan. Masih ada jam makan siang. Pulang kuliah nanti juga bisa cari ‘susu’ di ‘kantin’ kampus. Minum susu sebelum tidur juga oke. Pesan susu On-Line juga sekarang bisa. Tuhan Maha Tahu, ‘susu’ mana yang pas buat Lo, dan Dia akan mengirimkannya. Tinggal Lo siapin aja alat pembayarannya. Lo bisa saja bayar dengan hal-hal berikut: kesabaran, pengorbanan, ketekunan, kebijaksanaan, kerajinan, kepintaran, pengertian, keceriaan, keramahan, kerendah hatian, ketulusan, senyuman, keberanian, ketegasan, ketangguhan, keluwesan, kesetiaan, atau kebaikan lainnya. Tidak selalu berupa uang, tapi sekali lagi nggak ada yang gratis.
Ini sangat, sangat, sangat penting: Jangan tertipu kemasan! Sudah banyak terbukti ‘kemasan’ yang menarik dan berwarna-warni ternyata dalamnya nggak seindah luarnya. Boleh saja Lo pilih ‘susu’ dengan ‘kemasan’ yang kubus, silinder, putih, kuning, atau hitam, tapi jangan sampai lupa Lo baca ‘Nutrition Facts’-nya. Jangan lupa periksa keberadaan label halal dan kondisi segelnya J
Tanggal kedaluwarsa? Hmm.. memang kenyataan pahit yang harus diterima apabila secara secara fisik ‘susu’ memiliki batas dan gejala-gejala yang menunjukkan bahwa ia gagal menundukkan waktu. Apabila sudah tercium perubahan warna dan bau, maka jangan dipaksakan untuk diminum. ‘Susu’ yang basi akan membuat peminumnya larut dalam kebasiannya, dan ‘mencret’. Namun secara ‘arti’ tidak ada kematian dalam nilai positif ‘susu’. ‘Gizi’ yang telah sempat kita minum akan meresap dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam tubuh dan kehidupan kita. Ini akan menjadi kearifan yang unik di dalam perjalanan masing-masing individu yang unik pula. Tak ada kedaluwarsa dalam niat yang baik.
Mengenai susu jenis apa yang ideal buat Lo dan seberapa banyak yang Lo butuhkan untuk dikonsumsi, itu tergantung lagi sama Lo-nya sendiri, karena setiap orang memiliki tingkat kebutuhan gizi yang berbeda-beda. Yang jelas, apapun susunya dan seberapapun ukurannya, Lo harus bisa ambil nilai positifnya. Dan kepada para ‘susu’ dalam hidup gue yang telah begitu baik, unik, istimewa dan menyehatkan: gue sungguh mencintai kalian!

Minggu, 10 Juli 2011

Hukum Password

Menurut gue, dalam kapasitas seorang dewasa yang utuh, kita adalah pejabat yang paling berwenang dan bertanggungjawab terhadap pembentukan karakter diri dan tingkat keberhasilan pengaplikasian karakter tersebut dalam hal pencapaian tujuan hidup dan penikmatan setiap proses di dalamnya. Jangan cuma bisa nyalahin lingkungan dan orang lain doang. Maka dari itu, mari kita mulai pembentukan karakter dan masa depan yang baik, termasuk dari hal-hal kecil yang biasanya kita sepelekan.
Salah satu cara sederhana untuk menstimulasi diri agar menjadi karakter yang kita inginkan, dan atau memperkokoh tujuan yang kita maui biar nggak mbladhus dan terkubur  dalam di jaman yang semakin edan ini, adalah dengan menggunakan kata atau kalimat positif sebagai password. Menurut gue password yang sering kita gunakan dalam berbagai macam perangkat atau aplikasi secara sadar atau tidak sadar merupakan pena tak kasat mata yang turut berperan dalam menulis apa yang terjadi pada diri kita. Ini sih masih hipotesa gue doang lho yah, beLom pernah gue teliti secara ilmiah, hehehe.
Seandainya betul, maka beginilah bunyi Hukum Password gue: Jenis password memiliki korelasi yang nyata terhadap kepribadian dan masa depan pemakainya, sedangkan besar pengaruhnya berbanding lurus terhadap jumlah perulangan pemakaiannya (Ghufron, 2011). Cihui! Artinya, kalau Lo pakai password yang isinya hal positif, tentu Lo akan mendapat pengaruh positif dalam setiap kali perulangan penggunaan password Lo itu. Lha kalau password Lo berisi hal negatif, ya tentu input negatif pula yang bakal Lo terima.
Contoh password yang baik: hariyangindah, akucintamama, takadayangtakbisa, gueselalubijak, dll. Contoh password yang buruk: jangkrikjancuk, buburbabibusuk, setanalas, iblisjahanam, ketekambing, kodokampret, dll.
Karena password digunakan secara berulang-ulang dan dalam jangka waktu cukup panjang, mungkin efeknya akan kurang lebih sama seperti kalau seseorang berdzikir dengan berulangkali menyebut nama Allah, dimana kalimat-kalimat suci dalam proses berdzikir itu akan meresap ke relung hati dan menumbuhkan kemuliaan yang tak terelakkan. Jadi terlepas dari bener salah tulisan gue diatas, gue anjurkan sih Lo pakai password yang baik-baik ajah, jangan sebaliknya. Walaupun sepertinya terdengar remeh-temeh, tapi sebaiknya Lo pertimbangkan lagi pilihan password Lo!

Sabtu, 28 Mei 2011

Pinjamkan Payung Lo

Terpikir kalimat seseorang: ”Saya menikmati perasaan untuk percaya diri, berbagi dan sabar. Tapi maaf saya tak bisa memuaskan semuanya”.

Pernah mengalami suatu waktu ketika kita merasa sangat berenergi dan ingin membahagiakan semuanya? Atau begitu dihantui kekhawatiran bahwasannya kita akan mengecewakan orang lain? Atau menjumpai kenyataan bahwa kita tak sehebat itu sehingga tak bisa memenuhi semua mimpi orang yang begitu kita cintai? Atau menduga-duga apa sih yang sedang dipikirkan oleh orang yang sedang duduk sebangku dengan kita? (salah satu jawaban: mungkin orang itu berpikir, kitalah yang barusan kentut, hehe)

Menurut gue hal ini sangatlah wajar. Wajar kalau kita banyak berspekulasi tentang apa yang ada di hati orang lain karena ilmu membaca hati memang belum diajarkan secara resmi di kurikulum pendidikan dasar kita, ya toh? Kata pepatah, dalamnya laut bisa diukur, kalau hati dan wilayah sekitarnya... bahaya, jangan diukur! :p

Sebaik-baiknya orang adalah yang paling bermanfaat bagi lingkungannya. Weit, bukan berarti kita bisa dimanfaatkan seenaknya, terus bukan juga kita harus jadi pembantu gitu gan! Mangsude nyong, kita kan udah dikasih banyak anugerah indah yang tak terelakkan, ya mbok disyukuri dengan cara menjadi anugerah terindah pula untuk orang-orang yang berada jauh maupun di sekitar kita. Bukan malah jadi momok yang membuat orang males ketemu sama kita (kalo males nyium bau ketek kita sih, normal..)

Memang sangat indah perasaan menjadi berguna bagi sesama. Pengalaman yang tak bisa ditukar dengan sebungkus lontong sayur ataupun tahu goreng dan donat bertabur coklat yang dijual mbak-mbak berbedak tebal saat pagi hari, meskipun kondisi perut sangat menuntut untuk di-sarapan-kan. Beruntunglah orang-orang yang bisa seperti payung yang melindungi orang lain dari hujan yang airnya menembus dan membasahi kemeja, sehingga baju dalam yang berwarna menjadi tak terketahui oleh yang tak berhak :p. Bahagialah hati orang yang dapat menjadi pelangi bagi sahabatnya yang sedang dihujami gerimis pada serpihan hidupnya dan membutuhkan gebyuran bercangkir-cangkir inspirasi (perasaan kata ’yang’ banyak buanget pada paragraf ini!)

Makin banyak hal baik yang bisa kita tumbuh kembangkan, semakin bernilailah hidup kita. Tapi karena Tuhan kita itu keren, maka selalu ada pilihan lain dalam hidup: Seandainya tak mampu membahagiakan semua orang, bahagiakan diri Lo, dan pilih satu orang untuk Lo bahagiakan selamanya. Pinjamkan payung Lo, dan nikmati pelangi sehabis gerimis yang mereda diantara wangi khas tanah basah bersamanya.

Tentukan Kebebasanmu

Memang benar, kita hidup selalu terkoneksi dengan variabel lain di luar kita. Entah itu orang lain, aturan yang dibuat orang lain, kebebasan yang menjadi hak orang lain, atau anak perempuan orang lain :p. Hal ini adalah faktor pembatas yang akan meninggalkan garis berwarna merah yang mau tidak mau harus kita cermati. Namanya juga makhluk sosial, ya kan bro?

Kebebasan mungkin termasuk kata absurd yang sulit diterjemahkan. Kebebasan paling sering diinterpretasikan sebagai lawan bentuk dari keterikatan yang hadir bersama suatu peraturan tertentu. Apakah bebas itu tanpa aturan? Ataukah bebas itu adalah batasan dan aturan itu sendiri? Tapi sekali lagi, untuk memahaminya terkadang suatu kata tak harus didefinisikan dengan kata lainnya, melainkan bisa dicopy pastekan pada contoh kasus yang ada, untuk menemukan esensi dan pesan yang tersimpan bersamanya.

Dalam aplikasi yang sederhana seringkali kebebasan bukanlah melawan, melainkan mengiyakan peraturan yang benar. Misalnya: Naik motor di jalan raya harus pakai helm. Kalau nggak pakai helm, walaupun rambut udah keren gila!, ngliat polisi dari jarak 3000 tombak aja udah langsung puter setir. Tapi kalau udah pakai helm, walaupun helm pinjeman atau helm kreditan, ya nyantai aja, bodo amat dengan polisi yang berdiri diatas perut gendutnya dan mengincar kebahagiaan para kepala tak berhelm SNI! Memakai kepala plontos akan mempersempit luas daerah jelajah, terutama di wilayah perkotaan. Maka memakai helm adalah kebebasan.

Nah kalau prinsip kebebasan adalah aturan itu sendiri, sekarang tinggal seberapa bijakkah kita sehingga bisa menentukan suatu peraturan itu, termasuk dalam kategori kebenaran yang membaikkan atau lelucon yang dibuat untuk membodohi orang yang memang bodoh? Tentukan kebebasanmu dengan sebaik-baiknya cara.

Jumat, 27 Mei 2011

Pin Gratis! Gratis!

Pas ngadain resepsi nikahan, gue nyiapin suvenir untuk tamu berupa pin. Gue pikir, selain unik, suvenir yang dibagikan mesti memiliki nilai lebih dari sekedar untuk kenang-kenangan. Maka gue putusin untuk bikin pin dengan tulisan NO SMOKING! Merokok adalah cara halus suami membunuh istri dan anak-anaknya:




Gue tau resiko dari pembuatan pin ini, dan dugaan gue agaknya benar. Pada akhir acara masih tersisa sekitar 200an pin. Padahal biasanya, untuk urusan gretongan masyarakat kita cepetnya minta ampun (padahal di dunia nggak ada yang gratis, harus ada sesuatu yang dibayarkan, dan ini  tak selalu berupa uang).

Ya jelaslah, barisan perokok pada ogah ngambil pin ini, bunuh diri namanya kalau ngambil. Yang ngambil paling ibu-ibu, para gadis, dan teman-teman yang nggak ngerokok.  Padahal gue samasekali nggak bermaksud untuk menciptakan provokasi. Gue juga nggak mau ikut berdosa kali, gara-gara anak atau istrinya ngambil pin gue, eh terus di rumah mereka terjadi peperangan antara mereka dengan suami atau bapaknya yang perokok.

Buat gue pribadi, pin ini berarti bahwa sebagai seseorang yang sudah berani mengambil resiko untuk memimpin sebuah perahu yang berisi istri dan keturunannya, kita mesti peka terhadap hal-hal kecil yang kadang terlihat tak penting padahal prinsipil. Kadang kita mendapatkan kesenangan dengan cara yang menyiksa. Kadang hal yang kita anggap nggak penting adalah sangat penting bagi orang lain.

Gue nggak benci perokok. Tapi gue senang kalau mereka selalu menyediakan kantong plastik untuk menampung asap-asap mereka. Gue anjurkan bagi anak-anak sekolah yang membeli rokok dengan cara masih meminta uang sama bokapnya, agar menerapkan prinsip berhemat dengan cara menghabiskan rokoknya sampai busa filternya sekalian. Biar lebih terasa, kan gurih tuh :p. Dan gue sangat berterimakasih bila ada teman-teman perokok yang berinisiatif buat nggak memuntahkan asap rokok ke udara bebas yang sudah penuh polusi, melainkan langsung ditelan. Sayang kan kalau ada yang terbuang... hehe, piss!

Maaf nih buat teman-teman perokok aktif, jangan marah atas postingan ini yak. Tapi yang penting, sekarang gue masih punya sekitar 200an pin diatas, jadi bagi siapa yang mau, bisa langsung ambil, GRATIS! GRATIS! GRATIS!

Sabtu, 21 Mei 2011

Malu Sama Gusti


Ayah gue: Belum naik haji mosok kok mau beli mobil, yo malu sama Gusti Allah.

Terjemahan bebasnya: Kalau pas punya duit, mbok ya dipakai dengan sebaik-baiknya cara. Banyak jalan untuk menghabiskan uang, tapi pilihan kan ada di tangan kita. Merumuskan urutan prioritas itu puenting lho.  Biar nggak kehilangan arah. Biar kalaupun terjatuh, pas berdiri kita tahu bagaimana cara jatuh yang baik yang jauh tidak melukai nyali. Beli mobil atau barang mewah lainnya itu boleh-boleh saja. Tapi mbok ya dipelajari lagi, sebenarnya ada yang lebih prinsip lagi apa enggak dari itu. Apa nggak malu, misalnya punya mobil seharga 100jt tapi belum pernah munggah kaji? Atau setidaknya ndaftar haji? Yo mbok punya malu sama Gusti Allah. Lha wong yang punya semua rezeki termasuk uang itu ya Beliau.

Tidak hanya dalam urusan membeli atau membelanjakan, melainkan pada semua sisi kehidupan. Jadi percakapan tak berhenti pada materi yang sekedar materi. Setiap hal yang diorientasikan kepada prinsip Ketuhanan akan selalu membawa kesejukan yang sulit untuk dijelaskan. Akan lebih bernilai dan bermakna. Karena hidup hanya persinggahan dan tak berhenti pada mati.

Menurut gue, kearifan seperti ini yang memang harus di tularkan oleh generasi sebelum kepada sesudahnya. Oleh orang tua kepada anak-anaknya. Oleh guru kepada murid-muridnya. Oleh pejabat kepada rakyatnya. Oleh sahabat kepada sahabatnya. Hal-hal kecil yang sering terabaikan, padahal ada prinsip besar di belakangnya. Bukan memaksa, tapi memberikan pilihan yang lebih berwarna.

Kesing Sama, Sinyal Beda


Jam 19:40. Gue duduk di bangku besi, ngantri ngambil obat di apotek sebuah klinik. Nggak lama datang seorang Bapak-bapak (bapak-bapak ini berjenis kelamin laki-laki :p). Umurnya kira-kira 40an. Dia nyangking kantong plastik putih yang kutebak berisi obat. Dia langsung nyosor ke arah mbak-mbak di loket apotek (maksudnya nyosor ke loketnya, bukan nyosor mbaknya!) dan nanya dengan mimik curiga tapi sopan (nah kalo ini nanyanya ke si embak, bukan ke loketnya):

Bapak              :  Mbak, tadi anak saya periksa. Keluhannya demam, sakit kepala, pilek,
dan muntah-muntah. Pas saya cek di rumah kok obat buat muntah-muntahnya nggak ada ya? Apa emang dokternya nggak ngasih ya?
Mbak               :  Kok baru dicek di rumah pak? (sedingin batu es yang udah nginep
tiga minggu di freezer, semanyun bocah yang nggak dikasih uang saku sama mamanya karena uang receh udah habis buat beli bawang merah). Sebentar saya cek resepnya.
Gue                  :  (Mikir) Wah, jenis bokap keren nih. Tau jenis obat-obatan, atau paling
enggak berani kritis pas nemuin hal yang meragukan. Padahal ini klinik pelosok, berarti orang Indonesia emang udah pinter-pinter.

Ternyata emang dokternya yang khilaf, belom ngasih obat pereda muntahnya. Nggak lama kemudian setelah si bapak pulang dengan sepaket obatnya yang lengkap, datanglah seorang ibu dengan anaknya, menyerahkan resep dan perincian pembayaran. Dari kesingnya sih kayaknya sebaya dengan bapak tadi, tapi dari percakapan berikut ini gue yakin sinyalnya beda jauh, mungkin karena pengaruh pulsa dan jenis kartunya juga:

Ibu                   :  Mbak, mau ambil obat. Ini suratnya.
Mbak               :  Ibu, tulis nama anaknya disini dan tanda tangan disini
Ibu                   :  Cret.. crett... crettt.. (ini bunyi tanda tangan). Udah mbak.
Mbak               :  Nama anaknya ditulis buuuk...
Ibu                   :  Ehm... saya nggak bisa nulis mbak. Mbak aja yang nulis.
Mbak               :  Ooh.. (dengan logat  ’ooh’ khas Perawang-Siak-Riau)
Gue                  :  Waduh. Salah dong perkiraan gue tadi. Ternyata Indonesia
masih belum bebas buta aksara. Beuh... Lha gimana jadinya kalau yang ngalamin kejadian kayak bapak tadi adalah si ibu yang terakhir ini? Jangankan mau tau jenis obat yang kurang, baca nama obatnya aja mungkin susah.

Jadi sebenarnya salah siapa kalau kejadian seperti ini masih terjadi di tengah masyarakat kita? Bukankah pendidikan yang layak adalah hak dasar yang harusnya bisa menjadi sesuatu yang setidaknya bisa menjadi pemudah kehidupan rakyat (kecil)? Tapi nggak usah dicari siapa yang salah deh, cari dulu aja siapa yang mau belajar, wong kadang kita memang males belajar kok.