Cari Blog Ini

Sabtu, 28 Mei 2011

Pinjamkan Payung Lo

Terpikir kalimat seseorang: ”Saya menikmati perasaan untuk percaya diri, berbagi dan sabar. Tapi maaf saya tak bisa memuaskan semuanya”.

Pernah mengalami suatu waktu ketika kita merasa sangat berenergi dan ingin membahagiakan semuanya? Atau begitu dihantui kekhawatiran bahwasannya kita akan mengecewakan orang lain? Atau menjumpai kenyataan bahwa kita tak sehebat itu sehingga tak bisa memenuhi semua mimpi orang yang begitu kita cintai? Atau menduga-duga apa sih yang sedang dipikirkan oleh orang yang sedang duduk sebangku dengan kita? (salah satu jawaban: mungkin orang itu berpikir, kitalah yang barusan kentut, hehe)

Menurut gue hal ini sangatlah wajar. Wajar kalau kita banyak berspekulasi tentang apa yang ada di hati orang lain karena ilmu membaca hati memang belum diajarkan secara resmi di kurikulum pendidikan dasar kita, ya toh? Kata pepatah, dalamnya laut bisa diukur, kalau hati dan wilayah sekitarnya... bahaya, jangan diukur! :p

Sebaik-baiknya orang adalah yang paling bermanfaat bagi lingkungannya. Weit, bukan berarti kita bisa dimanfaatkan seenaknya, terus bukan juga kita harus jadi pembantu gitu gan! Mangsude nyong, kita kan udah dikasih banyak anugerah indah yang tak terelakkan, ya mbok disyukuri dengan cara menjadi anugerah terindah pula untuk orang-orang yang berada jauh maupun di sekitar kita. Bukan malah jadi momok yang membuat orang males ketemu sama kita (kalo males nyium bau ketek kita sih, normal..)

Memang sangat indah perasaan menjadi berguna bagi sesama. Pengalaman yang tak bisa ditukar dengan sebungkus lontong sayur ataupun tahu goreng dan donat bertabur coklat yang dijual mbak-mbak berbedak tebal saat pagi hari, meskipun kondisi perut sangat menuntut untuk di-sarapan-kan. Beruntunglah orang-orang yang bisa seperti payung yang melindungi orang lain dari hujan yang airnya menembus dan membasahi kemeja, sehingga baju dalam yang berwarna menjadi tak terketahui oleh yang tak berhak :p. Bahagialah hati orang yang dapat menjadi pelangi bagi sahabatnya yang sedang dihujami gerimis pada serpihan hidupnya dan membutuhkan gebyuran bercangkir-cangkir inspirasi (perasaan kata ’yang’ banyak buanget pada paragraf ini!)

Makin banyak hal baik yang bisa kita tumbuh kembangkan, semakin bernilailah hidup kita. Tapi karena Tuhan kita itu keren, maka selalu ada pilihan lain dalam hidup: Seandainya tak mampu membahagiakan semua orang, bahagiakan diri Lo, dan pilih satu orang untuk Lo bahagiakan selamanya. Pinjamkan payung Lo, dan nikmati pelangi sehabis gerimis yang mereda diantara wangi khas tanah basah bersamanya.

Tentukan Kebebasanmu

Memang benar, kita hidup selalu terkoneksi dengan variabel lain di luar kita. Entah itu orang lain, aturan yang dibuat orang lain, kebebasan yang menjadi hak orang lain, atau anak perempuan orang lain :p. Hal ini adalah faktor pembatas yang akan meninggalkan garis berwarna merah yang mau tidak mau harus kita cermati. Namanya juga makhluk sosial, ya kan bro?

Kebebasan mungkin termasuk kata absurd yang sulit diterjemahkan. Kebebasan paling sering diinterpretasikan sebagai lawan bentuk dari keterikatan yang hadir bersama suatu peraturan tertentu. Apakah bebas itu tanpa aturan? Ataukah bebas itu adalah batasan dan aturan itu sendiri? Tapi sekali lagi, untuk memahaminya terkadang suatu kata tak harus didefinisikan dengan kata lainnya, melainkan bisa dicopy pastekan pada contoh kasus yang ada, untuk menemukan esensi dan pesan yang tersimpan bersamanya.

Dalam aplikasi yang sederhana seringkali kebebasan bukanlah melawan, melainkan mengiyakan peraturan yang benar. Misalnya: Naik motor di jalan raya harus pakai helm. Kalau nggak pakai helm, walaupun rambut udah keren gila!, ngliat polisi dari jarak 3000 tombak aja udah langsung puter setir. Tapi kalau udah pakai helm, walaupun helm pinjeman atau helm kreditan, ya nyantai aja, bodo amat dengan polisi yang berdiri diatas perut gendutnya dan mengincar kebahagiaan para kepala tak berhelm SNI! Memakai kepala plontos akan mempersempit luas daerah jelajah, terutama di wilayah perkotaan. Maka memakai helm adalah kebebasan.

Nah kalau prinsip kebebasan adalah aturan itu sendiri, sekarang tinggal seberapa bijakkah kita sehingga bisa menentukan suatu peraturan itu, termasuk dalam kategori kebenaran yang membaikkan atau lelucon yang dibuat untuk membodohi orang yang memang bodoh? Tentukan kebebasanmu dengan sebaik-baiknya cara.

Jumat, 27 Mei 2011

Pin Gratis! Gratis!

Pas ngadain resepsi nikahan, gue nyiapin suvenir untuk tamu berupa pin. Gue pikir, selain unik, suvenir yang dibagikan mesti memiliki nilai lebih dari sekedar untuk kenang-kenangan. Maka gue putusin untuk bikin pin dengan tulisan NO SMOKING! Merokok adalah cara halus suami membunuh istri dan anak-anaknya:




Gue tau resiko dari pembuatan pin ini, dan dugaan gue agaknya benar. Pada akhir acara masih tersisa sekitar 200an pin. Padahal biasanya, untuk urusan gretongan masyarakat kita cepetnya minta ampun (padahal di dunia nggak ada yang gratis, harus ada sesuatu yang dibayarkan, dan ini  tak selalu berupa uang).

Ya jelaslah, barisan perokok pada ogah ngambil pin ini, bunuh diri namanya kalau ngambil. Yang ngambil paling ibu-ibu, para gadis, dan teman-teman yang nggak ngerokok.  Padahal gue samasekali nggak bermaksud untuk menciptakan provokasi. Gue juga nggak mau ikut berdosa kali, gara-gara anak atau istrinya ngambil pin gue, eh terus di rumah mereka terjadi peperangan antara mereka dengan suami atau bapaknya yang perokok.

Buat gue pribadi, pin ini berarti bahwa sebagai seseorang yang sudah berani mengambil resiko untuk memimpin sebuah perahu yang berisi istri dan keturunannya, kita mesti peka terhadap hal-hal kecil yang kadang terlihat tak penting padahal prinsipil. Kadang kita mendapatkan kesenangan dengan cara yang menyiksa. Kadang hal yang kita anggap nggak penting adalah sangat penting bagi orang lain.

Gue nggak benci perokok. Tapi gue senang kalau mereka selalu menyediakan kantong plastik untuk menampung asap-asap mereka. Gue anjurkan bagi anak-anak sekolah yang membeli rokok dengan cara masih meminta uang sama bokapnya, agar menerapkan prinsip berhemat dengan cara menghabiskan rokoknya sampai busa filternya sekalian. Biar lebih terasa, kan gurih tuh :p. Dan gue sangat berterimakasih bila ada teman-teman perokok yang berinisiatif buat nggak memuntahkan asap rokok ke udara bebas yang sudah penuh polusi, melainkan langsung ditelan. Sayang kan kalau ada yang terbuang... hehe, piss!

Maaf nih buat teman-teman perokok aktif, jangan marah atas postingan ini yak. Tapi yang penting, sekarang gue masih punya sekitar 200an pin diatas, jadi bagi siapa yang mau, bisa langsung ambil, GRATIS! GRATIS! GRATIS!

Sabtu, 21 Mei 2011

Malu Sama Gusti


Ayah gue: Belum naik haji mosok kok mau beli mobil, yo malu sama Gusti Allah.

Terjemahan bebasnya: Kalau pas punya duit, mbok ya dipakai dengan sebaik-baiknya cara. Banyak jalan untuk menghabiskan uang, tapi pilihan kan ada di tangan kita. Merumuskan urutan prioritas itu puenting lho.  Biar nggak kehilangan arah. Biar kalaupun terjatuh, pas berdiri kita tahu bagaimana cara jatuh yang baik yang jauh tidak melukai nyali. Beli mobil atau barang mewah lainnya itu boleh-boleh saja. Tapi mbok ya dipelajari lagi, sebenarnya ada yang lebih prinsip lagi apa enggak dari itu. Apa nggak malu, misalnya punya mobil seharga 100jt tapi belum pernah munggah kaji? Atau setidaknya ndaftar haji? Yo mbok punya malu sama Gusti Allah. Lha wong yang punya semua rezeki termasuk uang itu ya Beliau.

Tidak hanya dalam urusan membeli atau membelanjakan, melainkan pada semua sisi kehidupan. Jadi percakapan tak berhenti pada materi yang sekedar materi. Setiap hal yang diorientasikan kepada prinsip Ketuhanan akan selalu membawa kesejukan yang sulit untuk dijelaskan. Akan lebih bernilai dan bermakna. Karena hidup hanya persinggahan dan tak berhenti pada mati.

Menurut gue, kearifan seperti ini yang memang harus di tularkan oleh generasi sebelum kepada sesudahnya. Oleh orang tua kepada anak-anaknya. Oleh guru kepada murid-muridnya. Oleh pejabat kepada rakyatnya. Oleh sahabat kepada sahabatnya. Hal-hal kecil yang sering terabaikan, padahal ada prinsip besar di belakangnya. Bukan memaksa, tapi memberikan pilihan yang lebih berwarna.

Kesing Sama, Sinyal Beda


Jam 19:40. Gue duduk di bangku besi, ngantri ngambil obat di apotek sebuah klinik. Nggak lama datang seorang Bapak-bapak (bapak-bapak ini berjenis kelamin laki-laki :p). Umurnya kira-kira 40an. Dia nyangking kantong plastik putih yang kutebak berisi obat. Dia langsung nyosor ke arah mbak-mbak di loket apotek (maksudnya nyosor ke loketnya, bukan nyosor mbaknya!) dan nanya dengan mimik curiga tapi sopan (nah kalo ini nanyanya ke si embak, bukan ke loketnya):

Bapak              :  Mbak, tadi anak saya periksa. Keluhannya demam, sakit kepala, pilek,
dan muntah-muntah. Pas saya cek di rumah kok obat buat muntah-muntahnya nggak ada ya? Apa emang dokternya nggak ngasih ya?
Mbak               :  Kok baru dicek di rumah pak? (sedingin batu es yang udah nginep
tiga minggu di freezer, semanyun bocah yang nggak dikasih uang saku sama mamanya karena uang receh udah habis buat beli bawang merah). Sebentar saya cek resepnya.
Gue                  :  (Mikir) Wah, jenis bokap keren nih. Tau jenis obat-obatan, atau paling
enggak berani kritis pas nemuin hal yang meragukan. Padahal ini klinik pelosok, berarti orang Indonesia emang udah pinter-pinter.

Ternyata emang dokternya yang khilaf, belom ngasih obat pereda muntahnya. Nggak lama kemudian setelah si bapak pulang dengan sepaket obatnya yang lengkap, datanglah seorang ibu dengan anaknya, menyerahkan resep dan perincian pembayaran. Dari kesingnya sih kayaknya sebaya dengan bapak tadi, tapi dari percakapan berikut ini gue yakin sinyalnya beda jauh, mungkin karena pengaruh pulsa dan jenis kartunya juga:

Ibu                   :  Mbak, mau ambil obat. Ini suratnya.
Mbak               :  Ibu, tulis nama anaknya disini dan tanda tangan disini
Ibu                   :  Cret.. crett... crettt.. (ini bunyi tanda tangan). Udah mbak.
Mbak               :  Nama anaknya ditulis buuuk...
Ibu                   :  Ehm... saya nggak bisa nulis mbak. Mbak aja yang nulis.
Mbak               :  Ooh.. (dengan logat  ’ooh’ khas Perawang-Siak-Riau)
Gue                  :  Waduh. Salah dong perkiraan gue tadi. Ternyata Indonesia
masih belum bebas buta aksara. Beuh... Lha gimana jadinya kalau yang ngalamin kejadian kayak bapak tadi adalah si ibu yang terakhir ini? Jangankan mau tau jenis obat yang kurang, baca nama obatnya aja mungkin susah.

Jadi sebenarnya salah siapa kalau kejadian seperti ini masih terjadi di tengah masyarakat kita? Bukankah pendidikan yang layak adalah hak dasar yang harusnya bisa menjadi sesuatu yang setidaknya bisa menjadi pemudah kehidupan rakyat (kecil)? Tapi nggak usah dicari siapa yang salah deh, cari dulu aja siapa yang mau belajar, wong kadang kita memang males belajar kok.

Selasa, 10 Mei 2011

Rakyat Jelata

Rakyat Jelata: Serupa pijakan kakus, yang kultus ketika murus.

Menurut gue, ini adalah ungkapan yang cukup pas untuk menggambarkan kondisi rakyat atas kelakuan nakal para pejabat tinggi dan wakil rakyat di negara kalian saat ini (kalau di negara gue sih baek-baek semua bro, he2).

Jabatan (atau kalau bahasa majapahitnya: tahta) cukup menggiurkan untuk diperebutkan seperti lalat-lalat hijau mengerumuni mbelek lancung. Dengan strategi dan taruhan apapun, sesuai dengan lirik lagu bro Iwan Fals: Dunia politik dunia bintang, dunia hura-hura para binatang (para Oi, silakan dikoreksi kalau liriknya salah, lupa-lupa ingat soalnya.)

Pernahkah mengalami mules yang teramat sangat? Hal apa yang paling dicari saat itu? Yup. Toilet. Kakus. WC. Kali. Minimal kantong kresek, kalau kepepet. Seperti itulah rakyat diposisikan oleh begundal-begundal dan budak kekuasaan. Kalau lagi butuh, dicari-cari, dijanjikan ini itu, dirangkul dengan tingkat kemesraan melebihi rangkulan lembut kepada istri mudanya, diglembuki dengan janji-janji yang lebih puitis dari Chairil Anwar, dicekoki dengan harapan yang lebih memabukkan dari segalon tuak. Tapi kalau sudah nggak butuh lagi, ya tinggal disiram saja seperti eek di lubang jamban. Dan romantisme tingkat tinggi saat kampanyepun…brottt...pluung…blekutuk..blekutuk...Hilang!

Yah, nasib rakyat kecil yang diperalat para penjahat sembrono: sama seperti protagonis dalam sinetron indonesia, selalu tersiksa sepanjang episode, dan yang lebih memilukan seringkali skenario ini bertipe sad ending  yang abstrak.

Minggu, 08 Mei 2011

Persetan dengan Definisi #2

Perempuan cantik itu yang begini-begitu.
Laki-laki keren itu yang begini begitu.

Gue memprotes kriteria kaku yang diterapkan untuk menilai keindahan personal. Ini adalah kejahatan murahan atas pengkerdilan nilai universal penciptaan. Seakan-akan yang ada diluar blanko kuisioner adalah kotor dan cacat. Padahal kalian tahu? Para pendefinisi dan penilai yang seakan maha tahu arti yang terbaik itu sebenarnya memiliki kelemahan fatal: mereka buta kronis dan tak bisa melihat keragaman potensi ataupun variasi bakat yang tercetak secara jujur pada masing-masing jiwa. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Perbedaan ini adalah anugerah yang sangat pantas untuk disyukuri.

Penilaian yang cetek merupakan penyempitan dan kemunduran menyesatkan yang akan membusukkan peradaban. Ini adalah salah satu komedi paling tak lucu sepanjang sejarah keimanan. Duh Gusti, lindungilah kami dari anak panah beracun itu: Definisi yang mengkhianatiMu.

Persetan dengan Definisi #1

Kalau nulis artikel itu harus begini-begitu biar bisa disebut artikel.
Kalau bikin puisi yang benar itu harus begini begitu biar sesuai dengan buku petunjuk pembuatan puisi yang baik dan benar.
Kalau nyiptain lagu itu harus begini-begitu biar bermutu dan bisa dikategorikan pop, rock, jazz, dangdut atau campursari.
Lha pop itu sendiri adalah...
Rock adalah...
Jazz adalah...
Dangdut adalah...
Sedangkan Campursari adalah...

Gue benci terjebak pada pengkotakan karya. Definisi tentang sesuatu dibuat bukan untuk membunuh inti dari sesuatu itu sendiri. Kita memang harus belajar, tapi bukan berarti menjadi budak kisi-kisi buatan manusia biasa yang bukan Nabi, yang hidup hanya pada seupil bagian zaman, sedangkan perubahan tak pernah bisa ditahan.

Buat Lo yang memiliki benih kreativitas yang sedang berkecambah, teruskan menyiram saja, tak perlu terlalu merisaukan akan menjadi pohon apa kecambah itu nantinya. Kepada para pengarti yang dangkal: Persetan dengan definisi, aturan dan tetek bengek itu!

Cukup Kamar Lo Aja Yang Sempit, Jangan Pikiran Lo!

Jalan hidup nge-kost sudah lumrah untuk para mahasiswa yang kampusnya jauh dari rumah orang tua, beda kota, propinsi (atau provinsi sih? #bingung...#), nyebrang pulau, atau bahkan lintas negara. Tipe rumah kost pun beda-beda. Kalau yang tajir ya cari yang lux, kalau yang beranjak kaya ya dibawahnya dikit, kalau yang biasa-biasa kayak gue ya cari yang murah meriah, yang penting punya kehormatan diri lantaran turu ora nunut (oleh sebab tidur nggak numpang).

Karakter kamar yang murah meriah ini ya biasanya cuma terdiri dari satu kamar all in one (makan disitu-tidur disitu-ngerjain tugas ya disitu-pipis pup ya disitu-pokoknya ngapa-ngapain ya disitu). Ukuran standard mungkin 3x3 meter. Di atas geladak seluas 9 m2 itulah pertempuran dikendalikan serta lautan perkuliahan dan prosesi yang larut di dalamnya diarungi. Tapi lagi-lagi atas nama kebebasan menaruh cangkir bekas kopi, keleluasaan berapa minggu jeans kesayangan halal tak dicuci, serta kehormatan dan harga diri, ini mesti disyukuri bro, dari pada Lo nomaden, hayoh!

Coba bayangin, Lo iris bumi ini sedemikian rupa, Lo kuliti sehingga terbentanglah keraknya dalam bentuk seperti telor ceplok. Kemudian Lo cari deh posisi kost-an Lo dimana! Memang kueecil buanget perbandingannya kan Mas Mbak Bang Pak Bu... Tapi jangan salah, dari 27m3 (kalau tingginya 3 meter juga lho!) itulah tak jarang terbentuk produk jenius yang akan menundukkan dunia dibawah kibaran jeans bolongnya. Pribadi mulia yang ranting-ranting hijau kreativitasnya tumbuh jauh melebihi kapasitas kamar kost-nya. Ide segar dari darah muda yang wanginya mengalahkan bau apek celana dalam kotor yang tergantung di belakang pintu kamar yang tak pernah tertutup (nggak ada AC, panas kalau ditutup). Breakthrough tanpa saduran berjubah semangat membara yang tak pernah padam walaupun pada tanggal 5 kadang harus bersembunyi dari ibu kost yang menagih uang sewa dengan kalimat yang mengancam. Pemikiran setajam pedang dan kebijaksanaan seluas samudera yang akan mengembalikan dunia pada peradaban yang mendekati masyarakat surga.

Semuanya mungkin. Inilah yang abadi: Yang terjadi, terjadilah. Jadi buat Lo yang masih terduduk di sudut kamar kost-an, menerawangi pelangi melalui kaca jendela yang sedikit basah karena gerimis yang baru saja reda. Buat Lo yang merasa takut tapi berani untuk mengatasinya. Buat Lo yang sedang mencari jati diri dan jawaban atas segala pertanyaan. Buat Lo yang baru saja bangun dari tidur pulas diatas kasur yang berjarak tiga langkah dari pintu: Cukup Kamar Lo Aja Yang Sempit, Jangan Pikiran Lo!

Tukang Sapu

Ini yang tertuturkan dari seorang tukang sapu:
”Saya lulusan SMEA tahun 75. pada saat itu sebenarnya mudah mencari kerja. Saya juga ditawari untuk kuliah oleh orang tua angkat saya. Tapi karena ketololan saya, saya menolak, malah memilih hidup seenaknya. Pada akhirnya ya begini, hidup saya berantakan. Tapi hidup sudah ada bagiannya sendiri-sendiri. Saya tidak boleh mengeluh....”

Apa yang ada sekarang adalah ’akibat’ dari sebab terdahulu, sekaligus ’sebab’ dari akibat pada kemudian hari. Ini rangkaian kejadian beruntun yang terstruktur. Pada titik tertentu, kita akan dipaksakan oleh waktu untuk mensyukuri apa yang telah terjadi. Terkadang memandang realitas kemakmuran secara finansial pada sekelompok orang yang masih berada di bawah kita -tanpa terserta dalih apapun yang berujung pada penghinaan- membuat kita merasa lebih kuat untuk menghadapi hidup. Mungkin ada cara yang lebih baik, tapi paling tidak Ini penting untuk mempertahankan keberadaan akal sehat yang selalu terlibat pertempuran dengan sepasukan agitasi murahan.

Karena hidup akan dinilai dari model perilaku, kualitas pengambilan keputusan dan level kebijaksanaan menyikapi akibat, maka sudah sudah sewajarnya kita memandang apa yang terjadi dan apa yang kita miliki dari perspektif positif yang tak ada matinya: sesuatu ini yang terbaik, dan akan kita buat menjadi lebih baik. Mengeluh adalah tabiat cengeng yang tak akan menyelesaikan masalah, jadi benar kata temen gue si tukang sapu itu: ”Bila semua jadi pejabat, siapa yang jadi bawahannya, siapa yang jadi tukang sapunya. Saya percaya hidup akan terus bergulir.”

Setiap kita adalah selebritis yang sepanjang waktu disorot oleh kamera Tuhan Sang Wartawan: menghasilkan kebenaran berita tanpa jeda.  Tanpa  jeda.

Sabtu, 07 Mei 2011

Doa Ajaib #1

#Berdoalah, bahkan untuk hal-hal kecil yang sepertinya Lo anggap nggak penting#

Dalam keseharian kita, banyak hal yang terjadi. Diantara banyak hal itu, mungkin ada beberapa yang agak nyleneh (ataukah hidup kalian sangat normal?huh?!Ayolah, mari kita sedikit konyol. Ini Sehat!). Dengan kurang ajarnya, saat menghadapi yang pahit-pahit itu kita ingat sama Tuhan (kata malaikat: Nah lo, pas hepi-hepi Tuhan lo kemanain bro?).

Hmm...salah satu icon yang sering di-klik adalah aplikasi KuDA (Kumpulan Doa Ajaib). Setiap bagian dari KuDA ini bersifat personal, pemasarannya kemungkinan mirip dengan manajemen butik, dan tentunya tersedia dalam edisi yang terbatas.

Berikut ini adalah beberapa bagian dari KuDA yang masih gue ingat (cerita masing-masing insya Allah akan diposting lain waktu):

1.      Tuhan, keringkanlah celana dalamku.
2.      Tuhan, maafkan aku yang telah menyiram semut yang sedang berenang di toiletku.
3.      Tuhan, kumohon... ini jangan bintitan!
4.      Tuhan, kuinfakkan Rp.20.000,- ini, tapi kumohon Kamu gantiin secepatnya ya.
5.      Tuhan, sisakan tahu di tukang gorengan untukku, satuuu aja nggak papa.
6.      ...

Weisss... Jangan anggap remeh kekuatan doa bro. Jangan pernah. Jangan pernah Lo sepelein. Karena apa? Karena dengan berdoa, maka secara resmi bin sadar lo sudah positif melibatkan campur tangan Tuhan, dan itu keputusan yang baik.

Nah, apakah ada yang mau berbagi KuDA lainnya? Tunjukkan KuDAmu! J

Kamis, 05 Mei 2011

Dari TAIKO – Eiji Yoshikawa

Novel epik TAIKO setebal 1.142 halaman bertutur tentang perang dan kemenangan pada zaman feodal di Jepang pada abad ke-16. Tiga sosok besar yang muncul adalah Nobunaga, Hideyoshi, dan Ieyasu. Falsafah dan karakter ketiganya dicerminkan seperti ini:

Bagaimana jika seekor burung tak mau berkicau?
Nobunaga menjawab    : ”Bunuh saja!”
Hideyoshi menjawab     : ”Buat burung itu ingin berkicau.”
Ieyasu menjawab          : ”Tunggu..”

Cerita di TAIKO didominasi suasana peperangan. Tapi bukankah sepanjang hidup kita adalah juga perang? Setiap kita memiliki perangnya sendiri-sendiri. Kita terlibat di dalamnya, bisa menjadi prajurit, jenderal, atau hanya bukan siapa-siapa, sebenarnya tergantung dan kembali lagi kepada diri kita masing-masing. Point pentingnya adalah: Hal terbaik dalam perang bukanlah masalah menusuk dan menghajar lawan. Keterampilan ini memang berguna untuk prajurit biasa. Namun bagi seorang jenderal yang besar, ini hanyalah kemampuan terendah yang harus dimiliki.

Umur kita tidak terlalu panjang jika harus mengalami semua hal secara langsung dan personal untuk bisa memetik hikmah dari suatu kejadian. Keuntungan dari generasi sesudah adalah bisa belajar dari generasi sebelumnya. Sejarah. Maka beruntunglah orang yang diberkahi dengan kemampuan mendengar dan membaca cahaya rahasia dibalik segala cerita.

Selasa, 03 Mei 2011

Hidup Setiap Waktu

Orang bilang umur manusia nggak bisa ditebak (lagian kalaupun ada yang bisa nebak, si hebat itu bakal gila akut mikirin mau diapain sisa umurnya, ya nggak?). Apa yang udah terlalui kemarin cuma bisa dikenang, nggak bisa dipanggil balik dengan apapun (termasuk dengan air mata buaya, rayuan gombal, sebait puisi atau seikat bunga). Walaupun secara relativitasnya menurut gue waktu kemarin tuh ya waktu sekarang. Pada media hamparan waktu inilah kita mengumpulkan serakan puzzle yang akan membentuk lukisan identitas kita yang sebenarnya. Mau jadi apa. Mau dengan bagaimana. Mau dimana. Mau dengan siapa. Sedang berbuat apa (loh?!).

Tapi mari kita koreksi lagi. Apakah kita hidup dalam sepanjang waktu itu, ataukah cuma hidup dalam sebagian kecilnya saja? Gue kenal beberapa orang yang menurut gue mereka bisa mengoptimalkan potensi, menjadi diri sendiri, dan hidup berwarna dalam waktu yang jumlahnya lebih besar atau sama dengan takaran waktu yang sudah disediakan untuknya. Salah satunya mungkin Fatkurrahman Abdul Karim-penyair (Mungkiiiiin lho yaaaa... Dul Karim, jangan lupa bayar ongkos pemuatan nama ya, kan gue udah promosiin sampeyan nih!).

Kalau gue mungkin masih termasuk dalam kriteria yang kedua. Dengan ketakutan gue yang belum berani untuk meninggalkan metode menjalani hidup konvensional yang dianggap masuk akal untuk kemudian menyalakan lampu gue sendiri, gue masih menjadi buruh yang benar-benar hidup dari jam 5 sore – 7 pagi untuk setiap hari kerja plus 24 jam Sabtu dan Minggu, kepotong waktu tidur yang kadang membabi buta karena kelelahan yang busuk. Waktu itulah yang selalu gue tunggu untuk bisa menjadi apa yang gue mau. Diluar waktu itu, gue seperti Nol kusam yang patah hati dan ditumbuhi lumut.

Untuk tahu sedang di kategori manakah kita sekarang, cuma butuh bicara dengan diri sendiri secara terbuka, jujur dan tak berpura-pura.Yang berhak menentukan jalan untuk diambil adalah bukan orang lain. Waktu adalah pedang tajam yang menebas hanya sekali dan tak pernah kembali. Jadi mari kita bersama-sama belajar untuk: Hidup Setiap Waktu.

Proses Memberi

Untuk Ornella Murti dan Aisyah Lovegne Restugusti: sekarang aku baru bisa memberi kalian waktu. Tapi jika kalian mau yang lainnya seperti rumah sederhana yang dikelilingi bougenville dan mobil bergaya retro berwarna orange yang akan kita pacu dibawah bintang-bintang; akan kuusahakan.

Kalau dipikir-pikir, daftar kemauan kita makin hari makin tambah aja ya. Yah, namanya juga masih hidup, wajarlah ya, asal nggak berlebihan. List kemauan kita sendiri aja udah paaaaanjaaang, belum lagi kalau ditambah punya pasangan kita -bagi yang udah punya- bisa tujuh puluh dua pangkat tiga kali gunung Slamet kali.

Bicara soal apa yang kita mau, tentu akan berujung pada apa yang bisa kita dapat. Tapi diantara dua variabel itu, terentang sesuatu yang seringkali tak terpedulikan: sang proses. Ini hukumnya: Semua yang kita mau bisa kita dapatkan, tapi tak semua terjadi dengan segera, karena secara lebih dalam tak semua yang kita suka adalah baik untuk kita.

Untuk kasus pengadaan keinginan yang tertunda, proses adalah penilaian yang mau tak mau harus kita cermati.  Kalau kita janji ngapel jam 7 malem, tapi datang telat sejam dengan baju yang basah abis keguyur ujan badai, muka pucet, dan mata yang berkata ”gue merasa bersalah”, masak sih nggak dimaafin (tapi kalau nggak dimaafin ya derita Lo bro!). Disitu proses ”menuju”-nya yang tentu menjadi nilai yang terperhatikan di mata hati orang lain. Apa lagi kalau udah atas nama cinta dan ada campur tangan restu orang tua, luluh deh batu karang di Samudera Indonesia.

Dari sini kita bisa belajar, memberi adalah fungsi yang tak bisa dipungkiri dari manusia yang bisa berfikir, dan proses adalah faktor yang sebanding dengan pikiran positif yang menjadi latar belakang peniatan. Jadi, tunggu apa lagi untuk memulai proses memberi yang baik?

Minggu, 01 Mei 2011

Cukup Kulit Lo Aja Yang Item, Jangan Hati Lo.

Sory nih, bukan rasis, bukan ngenyek, juga bukan yang bukan-bukan. Di masyarakat kita, kulit item sepertinya masih bukan menjadi pilihan favorit (apalagi itemnya parah plus nggak merata). Kalaupun pas mau lahir ke bumi ada blanko pengisian warna kulit, mungkin calon jabang bayi untuk penempatan di Indonesia Raya nggak ada yang ngelingkarin opsi itu.
Tapi sob, kalo Lo masih bisa ngakses postingan ini, sementara diluar sana masih ada saudara-saudara kita yang makan saja sulit, Lo setuju nggak kalo gue bilang masih ada sesuatu yang lebih pantas untuk dirisaukan dari sekedar warna kulit? Gue percaya Tuhan kita yang keren itu nggak memperhitungkan warna kulit sebagai variabel penentu dalam penimbangan amal untuk penenetapan ahli surga atau bukan surga. Jadi apapun warna kulit kita, itu bukan menjadi alasan untuk tidak menjadi orang yang baik. Jadi kesimpulannya, kalaupun item, cukup kulit Lo, jangan hati Lo.