Tapi mari kita koreksi lagi. Apakah kita hidup dalam sepanjang waktu itu, ataukah cuma hidup dalam sebagian kecilnya saja? Gue kenal beberapa orang yang menurut gue mereka bisa mengoptimalkan potensi, menjadi diri sendiri, dan hidup berwarna dalam waktu yang jumlahnya lebih besar atau sama dengan takaran waktu yang sudah disediakan untuknya. Salah satunya mungkin Fatkurrahman Abdul Karim-penyair (Mungkiiiiin lho yaaaa... Dul Karim, jangan lupa bayar ongkos pemuatan nama ya, kan gue udah promosiin sampeyan nih!).
Kalau gue mungkin masih termasuk dalam kriteria yang kedua. Dengan ketakutan gue yang belum berani untuk meninggalkan metode menjalani hidup konvensional yang dianggap masuk akal untuk kemudian menyalakan lampu gue sendiri, gue masih menjadi buruh yang benar-benar hidup dari jam 5 sore – 7 pagi untuk setiap hari kerja plus 24 jam Sabtu dan Minggu, kepotong waktu tidur yang kadang membabi buta karena kelelahan yang busuk. Waktu itulah yang selalu gue tunggu untuk bisa menjadi apa yang gue mau. Diluar waktu itu, gue seperti Nol kusam yang patah hati dan ditumbuhi lumut.
Untuk tahu sedang di kategori manakah kita sekarang, cuma butuh bicara dengan diri sendiri secara terbuka, jujur dan tak berpura-pura.Yang berhak menentukan jalan untuk diambil adalah bukan orang lain. Waktu adalah pedang tajam yang menebas hanya sekali dan tak pernah kembali. Jadi mari kita bersama-sama belajar untuk: Hidup Setiap Waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar