Ini yang tertuturkan dari seorang tukang sapu:
”Saya lulusan SMEA tahun 75. pada saat itu sebenarnya mudah mencari kerja. Saya juga ditawari untuk kuliah oleh orang tua angkat saya. Tapi karena ketololan saya, saya menolak, malah memilih hidup seenaknya. Pada akhirnya ya begini, hidup saya berantakan. Tapi hidup sudah ada bagiannya sendiri-sendiri. Saya tidak boleh mengeluh....”
Apa yang ada sekarang adalah ’akibat’ dari sebab terdahulu, sekaligus ’sebab’ dari akibat pada kemudian hari. Ini rangkaian kejadian beruntun yang terstruktur. Pada titik tertentu, kita akan dipaksakan oleh waktu untuk mensyukuri apa yang telah terjadi. Terkadang memandang realitas kemakmuran secara finansial pada sekelompok orang yang masih berada di bawah kita -tanpa terserta dalih apapun yang berujung pada penghinaan- membuat kita merasa lebih kuat untuk menghadapi hidup. Mungkin ada cara yang lebih baik, tapi paling tidak Ini penting untuk mempertahankan keberadaan akal sehat yang selalu terlibat pertempuran dengan sepasukan agitasi murahan.
Karena hidup akan dinilai dari model perilaku, kualitas pengambilan keputusan dan level kebijaksanaan menyikapi akibat, maka sudah sudah sewajarnya kita memandang apa yang terjadi dan apa yang kita miliki dari perspektif positif yang tak ada matinya: sesuatu ini yang terbaik, dan akan kita buat menjadi lebih baik. Mengeluh adalah tabiat cengeng yang tak akan menyelesaikan masalah, jadi benar kata temen gue si tukang sapu itu: ”Bila semua jadi pejabat, siapa yang jadi bawahannya, siapa yang jadi tukang sapunya. Saya percaya hidup akan terus bergulir.”
Setiap kita adalah selebritis yang sepanjang waktu disorot oleh kamera Tuhan Sang Wartawan: menghasilkan kebenaran berita tanpa jeda. Tanpa jeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar