Rakyat Jelata: Serupa pijakan kakus, yang kultus ketika murus.
Menurut gue, ini adalah ungkapan yang cukup pas untuk menggambarkan kondisi rakyat atas kelakuan nakal para pejabat tinggi dan wakil rakyat di negara kalian saat ini (kalau di negara gue sih baek-baek semua bro, he2).
Jabatan (atau kalau bahasa majapahitnya: tahta) cukup menggiurkan untuk diperebutkan seperti lalat-lalat hijau mengerumuni mbelek lancung. Dengan strategi dan taruhan apapun, sesuai dengan lirik lagu bro Iwan Fals: Dunia politik dunia bintang, dunia hura-hura para binatang (para Oi, silakan dikoreksi kalau liriknya salah, lupa-lupa ingat soalnya.)
Pernahkah mengalami mules yang teramat sangat? Hal apa yang paling dicari saat itu? Yup. Toilet. Kakus. WC. Kali. Minimal kantong kresek, kalau kepepet. Seperti itulah rakyat diposisikan oleh begundal-begundal dan budak kekuasaan. Kalau lagi butuh, dicari-cari, dijanjikan ini itu, dirangkul dengan tingkat kemesraan melebihi rangkulan lembut kepada istri mudanya, diglembuki dengan janji-janji yang lebih puitis dari Chairil Anwar, dicekoki dengan harapan yang lebih memabukkan dari segalon tuak. Tapi kalau sudah nggak butuh lagi, ya tinggal disiram saja seperti eek di lubang jamban. Dan romantisme tingkat tinggi saat kampanyepun…brottt...pluung…blekutuk..blekutuk...Hilang!
Yah, nasib rakyat kecil yang diperalat para penjahat sembrono: sama seperti protagonis dalam sinetron indonesia, selalu tersiksa sepanjang episode, dan yang lebih memilukan seringkali skenario ini bertipe sad ending yang abstrak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar